Jumat, 26 Oktober 2012

Dasar Pemikiran Masalah Korupsi


Mengapa korupsi bisa merajalela?
Sebenarnya korupsi bukan merupakan atribut budaya atau elemen dasar masyarakat Indonesia namun justru korupsi merupakan suatu hal yang hidup di berbagai negara dan situasi manapun dimana insentif untuk melakukannya. Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan. 
Menurut Kartono (1983) korupsi sebagai tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Ada beberapa sebab terjadinya praktek korupsi. Singh (1974) menemukan dalam penelitiannya bahwa penyebab terjadinya korupsi di India adalah kelemahan moral (41,3%), tekanan ekonomi (23,8%), hambatan struktur administrasi (17,2%) dan hambatan struktur sosial (7,08%).
Seperti contohnya, seorang pengusaha berusaha menyuap pemerintah atau DPR agar peraturan yang dikeluarkan menguntungkan si pengusaha, sekalipun merugikan negara. Lalu terjadi transfer uang. Pengusaha melenggang dengan bisnisnya dan oknum pemerintah mendapat tambahan pemasukan. Namun, akibatnya sebagian besar rakyat dirugikan. Uang mereka yang dititipkan ke pemerintah (berupa pajak) tidak teralokasikan kepada penyediaan barang publik dengan semestinya. Sebagian uang itu pindah ke kantong pengusaha (berupa akses ilegal) dan oknum pemerintah. Akibatnya, kuantitas dan kualitas pelayanan publik lebih rendah daripada seharusnya. Hal ini menjadi kesempatan yang hilang untuk memperbaiki hajat hidup orang banyak, sebuah tugas yang diamanatkan kepada pemerintah dan dibiayai oleh pajak dan SDA. Oknum pemerintah bisa melarikan uang negara dengan berbagai cara. Korupsi pun terjadi antarpenguasa, tanpa pemerintah.
Akibat langsung dari korupsi adalah rusaknya pasar. Misalnya, korupsi gula impor. Harga yang dilihat masyarakat adalah harga tidak alami atau buatan. Sementara itu, akses ilegal yang dinikmati penyuap, menutup akses pengusaha lain yang tidak mau menyuap. Persaingan pun menjadi tidak fair. Korupsi menyebabkan ‘kegagalan pasar’. Sementara itu, macetnya tugas alokatif pemerintah merupakan ‘kegagalan pemerintah’. Lebih buruk lagi daripada mengalami kedua kegagalan ini. Dapat dikatakan bahwa insentif untuk melakukan penyimpangan dan korupsi lebih membawa ke arah inefisiensi ketimbang efisiensi. 


Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar