Sejarah Trias Politika
Pada masa lalu, bumi dihuni masyarakat pemburu primitif yang biasanya mengidentifikasi diri sebagai suku. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang kepala suku yang biasanya didasarkan atas garis keturunan ataupun kekuatan fiasik atau nonfisik yang dimiliki. Kepala suku ini memutuskan seluruh perkara yang ada di suku tersebut.
Pada perkembangannya, suku-suku kemudian memilki sebuah dewan yang diisi oleh para tetua masyarakat. Salah satu contoh dari dewan ini adalah pada dewan-dewan kota Athena (Yunani). Dewan ini sudah menampakkan 3 kekuasaan Trias Politica yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bahkan di Romawi kuno, sudah ada perwakilan daerah yang disebut Senat, lembaga yang memiliki aspirasi daerah-daerah. Persamaannya dengan Indonesia sekarang adalah Dewan perwakilan Daerah (DPD).
Namun, keberadaan kekuasaan yang terpisah, misalnya di tingkat dewan kota tersebut mengalami pasang surut. Tangtangan yang terbesar adalah persaingan dengan kekuasaan monarki atau tirani. Monarki atau Tirani adalah kekuasaan absolut yang berada di tangan satu orang saja. Tidak ada kekuasaan yang terpisah di keduanya.
Pada abad Pertengahan (kira-kira tahun 1000-1500M), kekuasaan politik menjadi persengketaan antara Monarki (raja/ratu), pimpinan geraja, dan kaum bangsawan. Kerap kali Eropa kala itu, dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuasaan politik ini.
Sebagai koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500M mulai muncul semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang berupa melakukan pemisahan kekuasaan. Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rosseeau, Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekkuasaan di suatu negara/kerajaan harus dilakukan.
John Locke (1632-1704)
Pemikiran John Locke mengenai Trias Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar) yang ia tulis dan berjudul “Two Treatises of Goverment” yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri)” dan “memiliki miliki (property).” Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut. Mengapa Locke menulis sedemikian pentingnya masalah kerja ini?
Dalam masa ketika Locke hidup, milik setiap orang, utamanya bangsawan, berada dalam posisi yang rentan ketika dihadapkan dengan raja. Sering kali raja secara sewenang-wenang melakukan akuisisi atas milik para bangsawan dengan dalih beraneka ragam. Sebab itu, sering kali kalangan bangsawan mengadakan perang dengan raja akibat persengketaan milik ini, misalnya peternakan, tanah, maupun kastil.
Negara ada dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari serangan individu lain, demikian tujuan negara versi Locke. Untuk memennuhhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah, kekuasaan yang tidak selalu di tangan seorang raja/ratu. Menurut Locke, kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif.
Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat Undang-Undang. Hal penting yang harus dibuat di dalam Undang-Undang adalah bahwa masyarakat ingin menikmati miliknya secra damai. Untuk situasi ‘damai’ tersebut perlu terbit Undang-Undang yang mengaturnya. Namun, bagi John Locke, masyarakat yang dimaksudkannya bukanlah masyarakat secara umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat jelata tidak masuk ke dalam kategori stuktur masyarakat yang dibela olehnya. Perwakilan rakyat versi Locke adalah perwakilan kaum bangsawan untuk berhadapan dengan raja/ratu Inggris.
Eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan amanat Undang-Undang. Dalam hal ini kekuasaan Eksekutif berada di tang raja/ratu Inggris. Kaum bangsawan tidak melaksanakan sendiri Undang-Undang yang mereka buat, melainkan diserahkan ke tangan raa/ratu.
Federatif adalah kekuasaan menjalin hubungan dengan negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip dengan Departemen Luar Negeri di masa kini. Kekuasaan ini antara lain untuk membangun liga perang, aliansi politik luar negeri, menyatakan perang dan damai, pengangkatan duta besar, dansejenisnya. Kekuasaan ini disebabkann oleh kepraktisan, diserahkan kepada raja/ratu Inggris.
Dari pemikiran politik John Locke dapat ditarik kesimpulan, bahwa dari 3 kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan 1 berada di tangan kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias Politika di masa kini. Pemikiran Locke kemudian disempurnakan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu.
Montesquieu (1689-1755)
Montesquieu (nama aslinya Baron Secondate de Montesquieu) mengajukan pemikiran politiknya setelah membaca karya John Locke. Buah pemikirannya termuat di dalam magnum opusnya “Spirits of the Laws” yang terbit tahun 1748.
Sehubungan dengan konsep pemisahann kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai berikut : “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan hukum antara bangssa; dan kekuasaan yudikatif, mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil.” Dengan kekuasaan pertama, penguasa atau magistrat mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan kekuasaan yang kedua, ia membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan keamanan umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan kekuasaan ketiga, ia menghukum penjahat, atau memutuskan pertikaian antar individu-individu. Yang akhir ini kita sebut kekuasaan yudikatif, yang lain kekuasaan eksekutif negara.
Dengan demikian, konsep Trias Politika yang banyak diacu oleh negara-negara di dunia saat ini adalah Konsep yang berasal dari pemikir Perancis ini. Namun, konsep Trias Politika ini terus mengalami persaingan dengan konsep-konsep kekuasaan lain seperti Kekuasaan Dinasti (Arab Saudi), Wilayatul Faqih (Iran), Diktatur Proletariat (Korea Utara, Cina, Kuba).
Fungsi-fungsi Kekuasaan Legislatif
Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya membuat Undang-Undang. Di masa kini, lembaga tersebut disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of Representative (Amerika Serikat), ataupun House of Common (Inggris). Lembaga-lembaga ini dipilih melalui mekanisme pemilihan umum yang diadakan secara periodik ddan berasal dari partai-partai politik.
Melalui apa yang dapat kami ikhtisarkan dari karya Michael G. Roskin, etal, termaktub beberapa fungsi dari kekuasaan legislatif sebagai berikut : Lawmaking, Constituency Work, Supervision and Critism Government, Education, dan Representation.
Lawmaking adalah fungsi membuat undang-undang. Di Indonesia, undang-undang yang dikenal adalah Undang-undang Ketenagakerjaan, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Guru Dosen, Undang-undang Penanaman Modal, dan sebagainya. Undang-undang ini dibuat oleh DPR setelah memperhatikan masukan dari level masyarakat.
Constituency Work adalah fungsi badan legislatif untuk bekerja bagi para pemilihnya. Seorang anggota DPR/legislatif biasanya mewakili antara 100.000 s/d 400.000 orang di Indonesia. Tentu saja, orang yang terpilih tersebut mengemban amanat yang sedemikian besar dari sedemikian banyak orang. Sebab itu, penting bagi seorang anggota DPR untuk melaksanakan amanat , yang harus ia suarakan di setiap kesempatan saat ia bekerja sebagai anggota dewan. Berat bukan ?
Supervision And Critism Of Government, berarti fungsi legislatif untuk mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang oleh presiden/perdana menteri, dan segera mengkritiknya jika terjadi ketidaksesuaian. Dalam menjalankan fungsi ini, DPR melakukannya malalui acara dengar pendapat, interpelasi, angket, maupun mengeluarkan mosi kepada presiden/perdana menteri.
Education adalah fungsi DPR untuk memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Anggota DPR harus memberi contoh bahwa mereka adalah sekedar wakil rakyat yang harus menjaga amanat dari para pemilihnya. Mereka harus selalu memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai bagaimana cara melaksanakan kehidupan bernegara yang baik. Sebab, hampir setiap saat media massa meliput tindak-tanduk mereka, baik melalui layar televisi, surat kabar, ataupun internet.
Representation, merupakan fungsi dari negara anggota legislatif untuk mewakili pemilih. Seperti telah disebutkan di Indonesia, seorang anggota dewan dipilih oleh sekitar 300.000 orang pemillih. Nah, ke-300.000 orang tersebut harus ia wakili kepentingannya di dalam konteks negara. Ini didasarkann oleh konsep demokrasi perwakilan. Tidak bisa kita bayangkan jika konsep demokrasi langsung yang diterapkan, gedung DPR akan penuh sesak dengan 300.000 orang yang datang setiap hari ke Senayan. Bisa-bisa hancur gedung itu. Masalah yang muncul adalah anggota dewan ini masih banyak yang kurang peka terhadap kepentingan para pemilihnya. Ini bisa kita lihat dari masih banyaknya demonstrasi-demonstrasi yang muncul di aneka isu politik.
Fungsi-fungsi Kekuasaan Eksekutif
Eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan Undang-Undang yang dibuat uleh Legislatif. Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif ini garis besarnya adalah : Cheif of state, Head of government, Party chief, Commander in chief, Chief diplomat, Dispenser of appointments, dan Chief legislators.
Eksekutif di era modern negara biasanya diduduki oleh Presiden atau Perdana Menteri. Chief of State artinya kepala negara, jadi seorang Presiden atau Perdana Menteri merupakan kepala suatu negara, simbol suatu negara. Apapun tindakan seorang Presiden atau Perdana Menteri, berarti tindakan dari negara yang bersangkutan. Fungsi sebagai kepala negara ini misalnya dibbuktikann dengan memimpin upacara, peresmian suatu kegiatan, penerimaan duta besar, penyelesaian konflik dan sejenisnya.
Head of Government, artinya adalah kepala pemerintahan. Presiden atau Perdana Menteri yang melakukan kegiatan eksekutif ssehari-hari. Misalnya mengangkat menteri-menteri, menjalin perjanjian dengan negara lain, terlibat dalam keanggotaan suatu lembaga internasional, menandatangani surat hutang dan pembayarannya dari lembaga donor, dan sejenisnya. Di dalam tiap negara, terkadang terjadi pemisahan fungsi antara kepala negara dengan kepala pemerintahan. Di Inggris, kepala negara dipegang oleh Ratu Inggris, demikian pula di Jepang. Di kedua negara tersebut kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Di Indonesia ataupun Amerika Serikat, kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden.
Party Chief berarti seorang kepala eksekutif sekaligus juga merupakan kepala dari suatu partai yang menang pemilu. Fungsi sebagai ketua partai ini lebih mengemuka di suatu negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer, kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri yang berasal dari partai yang menang pemilu. Namun, di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensil terkadang tidak berlaku kaku demikian. Di masa pemerintahan Gus Dur (di Indonesia) menunjukkan hal tersebut.
Gus Dur berasal dari partai yang hanya memenangkan 9% suara di Pemilu 1999, tetapi ia menjadi presiden. Selain itu, di sistem pemerintahan parlementer, terdapat hubungan yang sangat kuat antara eksekutif dan legislatif oleh sebab seorang eksekutif dipilih dari komposisi hasil suara partai dalam pemilu. Di sistem presidensil, pemilu untuk memilih anggota dewan dan untuk memilih presiden terpisah.
Commander In Chief adalah fungsi mengepalai angkatan bersenjata. Presiden atau perdanamenteri adalah pimpinan tertinggi angkatan bersenjata. Seorang presiden atau pedana menteri, meskipun tidak memiliki latar belakang militer, memiliki peran ini. Namun, terkadang terdapat pergesekan dengan pihak militer jika yang menjadi presiden ataupun perdana menteri adalah orang bukan kalangan militer. Sekali lagi, ini pernah terjadi di era Gus Dur, dimana banyak instruksi-instruksinya kepada pihak militer tidak digubris pihak yang terakhir, terutama di masa kerusuhan sektarian (agama) yang banyak terjadi di masa pemerintahaanya.
Chief Diplomat, merupakan fungsi eksekutif untuk mengepalai duta-duuta besar yang tersebar di perwakilan negara di seluruh dunia. Dalam pemikiran Trias Politika John Locke, termaktub kekuasaan federatif, kekuasaan untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Demikian pula di konteks aplikasi kekuasaan eksekutif saat ini. Eksekutif adalah pihak yang mengangkat duta besar untuk beroperasi di negara sahabat, juga menerima duta besar dari negara lain.
Dispenser of Appointment merupakan fungsi eksekutif untuk menandatangani perjanjian dengan negara lain atau lembaga Internasional. Dalam fungsi ini, penandatanganan dilakukan oleh presiden, menteri luar negeri, ataupun anggota-anggota kabbinet yang lain, yang diangkat oleh presiden atau perdana menteri.
Chief Legislation, adalah fungsi eksekutif untuk mempromosikan diterbitkannya suatu Undang-Undang. Meskipun kekuasaan membuat Undang-Undang berada di tangan DPR, tetapi di dalam sistem tata negara dimungkinkan lembaga eksekutif mempromosikan diterbitkannya suatu Undang-Undang oleh sebab tantangan riil dalam implementasi suatu Undang-Undang banyak ditemui oleh pihak yang sehari-hari melaksanakan UU tersebut.
Fungsi-fungsi Kekuasaan Yudikatif
Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi Undang-Undang maupun sanksi atas setiap pelanggarannya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar masalah hukum berikut : Criminal law (petty offense, misdemeanor, felonies); Civil law (perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law (masalah seputar penafsiran konstitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi negara); International law (perjanjian internasional).
Criminal Law, penyelesaiannya biasanya dipegang oleh pengadilan pidana yang di Indonesia ssifatnya berjenjang, dari Pengadilan Negeri (tingkat kabupaten), Pengadilan Tinggi (tingkat provinsi), dan Mahkamah Agung (tingkat nasional). Civil law juga biasanya diselesaikan di Pengadilan Negeri, tetapi khusus umat Islam biasanya dipegang oleh Pengadilan Agama.
Constitution Law, kini penyelesaiannya ditempati oleh Mahkamah Konstitusi. Jika individu, kelompok, lembaga-lembaga negara mempersoalkan suatu Undang-Undang atau keputusan, upaya penyelesaian sengketanya dilakukkan di Mahkamah Konstitusi.
Administrative Law, penyelesaiannya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, biasanya kasus-kasus sengketa tanah, sertifikasi, dan sejenisnya.
International Law, tidak diselesaikan oleh badan yudikatif di bawah kendali ssuatu negara melainkan atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Trias Politika di Indonesia
Trias Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut di berbagai negara di berbagai belahan dunia. Konsep dasarnya adalah kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik, melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda.
Indonesia merupakan Negara yang menganut paham trias politica yaitu suatu paham yang menyatakann bahwa cabang pemerintahan dibagi atas 3 kekuasaan yaitu :
1. Kekuasaan Legislatif, yaitu DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang (pasal 20 ayat 1).
2. Kekuasaan Eksekutif, yaitu Presiden memegang kekuasaan pemerintahan (pasal 4 ayat 1).
3. Kekuasaan Yudikatif, yaitu MK & MA memegang kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (pasal 24 ayat 1).
Trias Politika yang dipakai Indonesia saat sekarang ini adalah pemisahan kekuasaan. Salah satu buktinya dalam hal membentuk Undang-Undang. Sebelum perubahan Undang-Undang dibentuk oleh presiden, namun setelah perubahan Undang-Undang dibentuk oleh DPR. Undang-Undang diubah satu kali alam empat tahap. Saat ini presiden dapat mengajukan rancangan Undang-Undang.
DPR selain memegang kekuasaan membentuk UU, dalam melakukan pengawasan memiliki :
a) Hak angket yaitu menanyakan kepada presiden mengenai hal-hal yang mengganggu kepentingan nasional.
b) Hak Intrepretasi yaitu untuk melakukan penyelidikan.
Dalam menjalankan fungsi eksekutif presiden dibantu oleh wakil presiden beserta mentri-mentri. Presiden sebagai kepala negara, memiliki kewenangan untuk :
1) Mengangkat duta dan konsul,
2) Menempatkan duta negara lain,
3) Pemberian grasi dan rehabilitasi,
4) Pemberian amnesty dan abolisi,
5) Memberi gelar dan tanda jasa.
Sedangkan lembaga Yudikatif bertugas mengawasi jalannya pemerintahan dan negara secara keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta menjatuhkan sansi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar undang-undang.
Dengan terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh ssatu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balance (saling koreksi, saling mengimbangi). Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya mulus atau tanpa halangan.
Sumber Referensi :
http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/trias-politika-pemisahan-kekuasaan.html
http://elfi-indra.blogspot.com/2011/04/trias-politica-di-indonesia.html
http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/trias-politika-pemisahan-kekuasaan.html
http://elfi-indra.blogspot.com/2011/04/trias-politica-di-indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar