BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diantara negara-negara Asia yang terlanda krisis Ekonomi, Indonesia mengalami kondisi yang paling parah dan berlarut-larut. Hal ini terjadi karena terkombinasinya aspek ekonomi dengan aspek social, politik dan budaya dalam substansi krisis yang berjalan. Kekecewaaan masyarakat akan lambannya upaya pemerintahan untuk menyehatkan kembali ekonomi bangsa menyebabkan makin menipisnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga negara. Reformasi yang pada mulanya diharapkan akan menghadirkan solusi bagi persoalan-persoalan bangsa ternyata diwarnai dengan realitas yang jauh dari harapan. Pemerintah bukan hanya kurang berhasil menunjukkan kinerja yang optimal untuk merevitalisasi perekonomian, tetapi juga gagal menghadirkan suatu visi dan strategi pembangunan yang berpijak pada pemahaman yang relative utuh tentang akar-akar social ekonomi dari krisis itu sendiri.
Pandangan yang diterima secara luas adalah akibat langsung dari gelombang besar globalisasi ekonomi dunia yang tidak lagi mentolerir penyimpangan-penyimpangan terhadap prinsip pasar bebas. Fenomena korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang telah membudaya dalam system ekonomi Indonesia menjadi sebab penting dari runtuhnya kepercayaan iternasional. Seperti diketahui, dalam konteks pengembalian kepercayaan internasional inilah, dan tentu saja dalam upaya keluar dari krisis, pemerintahan Indonesia telah mengundang keterlibatan IMF dengan mengikatkan diri dalam paket bantuan untuk restrukturisasi ekonomi.
Seperti kebanyakan kalangan dalam masyarakat, umumnya kalangan ini juga prihatin dengan lemahnya penegakkan hukum, yang berimplikasi pada melemahnya kepercayaan investor internasional untuk kembali menanamkan modalnya di Indonesia. Korupsi di tubuh birokrasi, yang berwujud tradisi suap-menyuap masih mewarnai kegiatan ekonomi kita hamper di semua sector. Hal ini tentu menjadi sebab menaiknya biaya produksi, sehingga beberapa investor penting kemudian memilih untuk merelokasikan kegiatan industrinya keluar dari Indonesia. Di samping itu, meningkatnya frekuensi demonstrasi kalangan buruh yang menuntut peningkatan upah dan perbaikan kondisi kerja juga turut mengikis comparative advantage Indonesia di mata para penanam modal internasional.
Di sisi lain, sebagai bagian dari agenda neo-liberalisme yang menjadi semacam paradigma IMF, menghadapi derasnya globalisasi ekonomi, pemerintah Indonesia dituntut untuk terus ’merasionalisasi’ system ekonomi dengan terus menurunkan subsidi terhadap harga-harga komoditi yang selama ini dinilai sensitive karena berdampak pada penambahan beban rakyat yang sudah sangat menderita. Kebijakan kenaikan harga yang terus-menerus terjadi di masa pemerintahan Presiden Megawati telah memancing kemarahan public seperti terbukti dari rangkaian demonstrasi antin kenaikan tarif litrik,, telepon, dan BBM di awal tahuin 2003. Naiknya biaya pendidikan dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi sebagai akibat dari turunnya subsidi, pemerintah juga telah menambah beban hidup bagi kalangan menengah ke bawah. Karena akses kepada pendidikan (khususnya pendidikan tinggi) praktis hanya dimiliki oleh kalangan menengah ke atas, muncul kekhawatiran bahwa dalam jangka panjang yang terjadi adalah makin melebarnya kesenjangan antara golongan ekonomi kuat dan golongan ekonomi lemah.
Sementara itu ketergantungan terhadap modal dan bantuan asing juga merupakan ciri ekonomi Indonesia yang makin menonjol. Hal ini diterima sebagai keniscayaan, bukan hanya karena situasi krisis yang tak kunjung usai, tetapi juga karena ‘mentalitas ketergantungan’ yang agaknya telah terbentuk sejak masa orde baru yang panjang. Padahal mekanisme panyaluran dana utang luar negri, yang kelak akan menjadi beban berat generasi mendatang, terbukti sangat jauh dari keberhasilan mmperbaiki perekonomian rakyat, dan lebih merupakan cermin prinsip “gali lubang tutup lubang”.
1.2 Rumusan Masalah
Di tahun 2003, Indonesia telah memutuskan untuk, mengakhiri kontrak kerja sama khusus dengan IMF. Di atas telah dipaparkan bahwa alas an dibalik pertimbangan ini adalah bahwa program-program IMF dinilai hanya menambah beban ekonomi Indonesia. Karena keputusan untuk lepas dari kerja sama khusus dengan IMF itu telah diambil oleh Pemerintah, maka sudah seharusnya Indonesia mempunyai rencana alternatif untuk membangkitkan perekonomian tanpa keberadaan IMF, yang tidak hanya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan taktis jangka pendek, tetapi juga dilandasi oleh strategi yang visioner namun tetap membumi dan realistis. Pertanyaan yang akan kami ajukan adalah: “Strategi pembangunan apa yang bisa dijalankan Indonesia ke depan?
1.3 Tujuan
· Menyajikan refleksi mengenai keberadaan IMF di Indonesia dalam periode 1997-2003
· Memberikan suatu wacana yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah kepada public dalam dan luar negeri tentang pengaruh kehadiran IMF terhadap pembangunan di Indonesia.
· Mendorong pengembangan wacana tentang strategi pembangunan yang tepat di era Pascsa-IMF.
· Menjadi salah satu sumber bahan pertimbangan oleh para pembuat keputusan di Indonesia untuk menentukan strategi pembangunan ekonomi selanjutnya.
BAB II
ISI
Pada akhir 1970-an, pembangunan ekonomi Indonesia lebih “berorientasi ke dalam” (inward looking) dengan penerapan industry substitusi impor, dimana industry dalam negeri yang masih berupa infant industries kemudian ‘digenjot’ untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor dari negara-negara maju. Baru pada tahun 1982, ketika harga minyak dunia turun drastic, sehingga pendapatan Indonesia yang waktu itu sebagian besar berasal dari sector migas ikut mengalami penurunan, Indonesia merestrukturisasi strategi pembangunannya, antara lain dilakukan pengurangan pembangunan dan deregulasi di berbagai sector, terutama sector perbankan. Adanya peraturan liberalisasi perbankan tahun 1988 yang memberi kemudahan dalam persyaratan pendirian bank, sehingga jumlah bank pada pertengahan 1990-an meningkat tajam menjadi sekitar 230 bank. Sektor lain yang juga mengalami deregulasi adalah investasi, dimana sejumlah sector mulai diliberalisasi seperti pelabuhan, pembangkit tenaga listrik, perkapalan, maskapai penerbangan, kereta api, telekomunikasi, bahkan media massa. Keanggotaan Indonesia dalam AFTA, APEC, dan WTO juga membuat Indonesia merancang penurunan tariff secara bertahap.
Ternyata pembangunan Indonesia yang ‘menakjubkan’ itu, dengan pertumbuhan rata-rata 6% pertahun, hingga Bank Dunia mengkategorikan Indonesia sebagai termasuk dalam East Asian Miracle, menyimpan sejumlah ‘kebobrokan’ yang menyebabkan lemahnya fundamental ekonomi Indonesia sehingga Indonesia menjadi negara yang paling parah terkena krisis dan paling lama pula pemulihannya. Baru pada tahun 2003 lalu Indonesia menghentikan paket bantuan dari IMF dan mulai 2004, Indonesia memasuki post program monitoring (PPM) IMF. Berbeda dengan Malaysia yang lebih dulu pulih dari krisis tanpa bantuan IMF, dan berbeda pula dengan Thailand yang telah mengakhiri kerja sama dengan IMF tahun 2000 dan bahkan tahun 2003, Thailand telah berhasil melunasi seluruh hutangnya kepada IMF.
Jatuhnya nilai Bath pada tanggal 2 Julli 1997 ternyata membawa dampak terdepresiasinya mata uang regional termasuk rupiah. Pemerintah Indonesia dibawah Suharto pada tanggal 31 Oktober 1997 menandatangani Lol yang pertama dengan IMF. Kerja sama dengan IMF tersebut merupakan awal dari terjadinya resesi berkepanjangan. Selama 7 tahun berada di bawah IMF, Indonesia tidak mempunyai visi pembangunan yang jelas karena segala kebijakan ekonomi ‘diatur’ oleh IMF. Bisa dikatakan, selama menjadi ‘pasien’ IMF, Indonesia semakin mendekati kebijakan-kebijakan yang digariskan oleh Washington Consensus. Lol IMF yang mencakup kebijakan uang ketat seperti meningkatkan suku bunga untuk mengurangi laju inflasi berdampak pada matinya sector riil sebagai akibat kebijakan shock terapy IMF. Dengan kata lain, terjadi perubahan radikal dalam ‘kebijakan pembangunan Indonesia’ selama masa krisis 1997-2003, kebijakan tersebut meliputi antara lain berbagai deregulasi, privatisasi di berbagai sector, penurunan tarif. Privatisasi besar-besaran terjadi selama Indonesia menerima paket bantuan IMF. Selain dalam bidang ekonomi, kebijakan IMF juga meliputi pemerintahan yang bersih, seperti dibentuknya Prakarsa Jakarta.
Pada tahun 2003, pemerintah memutuskan untuk menempuh post programme monitoring (PPM) dengan IMF. Dengan menempuh kebijakan tersebut, pemerintah tidak lagi mendapat bantuan pinjaman dari IMF, tidak mendapat fasilitas penjadwalan ulang utang dari Paris Club, dan utang pemerintah terhadap IMF bisa dilunasi sampai 2010. Masa PPM ini juga merupakan transisi bagi pemerintah untuk membangun kredibilitas sendiri dengan peran IMF yang sangat terbatas. Pada tahun 2004 ini, pemerintah harus menggunakan sumber dana dari luar selain IMF, meningkatkan pendapatan dalam negeri dan melakukan negoisasi secara bilateral tentang penjadwalan utang dengan negara-negara donor utama.
Penyebab krisis bila ditarik ke belakang adalah liberalisasi keuangan atau perbankan yang ’kebablasan’. Liberalisasi keuangan yang terjadi pada akhir 1980-an tidak diiringi dengan mekanisme pengawasan yang ketat sehingga kemudian terjadi krisis perbankan yang berlanjut menjadi krisis ekonomi. Menjamin terciptanya industry perbankan yang sehat menjadi tugas BI. Kini investor asing dapat memiliki 99% saham bank-bank domestic. Untuk itu diperlukan sejumlah peraturan yang menopang liberalisasi tersebut. UU No.23 tahun 1999 mengenai independensi BI menjadi produk hukum penting selama kebijakan ekonomi Indonesia ‘diatur’ IMF. Pada masa sebelum krisis, BI tidak independen, pemerintah banyak melakukan intervensi, sehingga banyak fungsi BI seperti, pengawasan perbankan tidak berjalan. Karena itulah, untuk strategi ke depan, diharapkan BI dapat menjalankan tugas dalam hal kebijakan moneter dengan maksimal. Dalam rangka itu pula, selain bertugas menjaga inflasi dan kestabilan nilai rupiah, BI juga bisa menciptakan skema-skema perkreditan yang memihak pada sector usaha kecil dan menengah ataupun pertanian. Bisa dikatakan liberalisasi perbankan atau keuangan ini telah dimulai sejak 1988, tetapi peraturan yang menopang liberalisasi baru dibuat pada masa krisis. IMF telah datang untuk membuat Indonesia lebih ‘liberal’ dan IMF juga melengkapi ke-‘liberal’-an itu dengan seperangkat peraturan baru. BI juga meluncurkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan penyempurnaan peraturan perundangan lainnya agar perbankan Indonesia bisa sehat dan menjadi motor penggerak ekonomi.
Dilihat dari dimensi hubungan pemerintah kalangan bisnis, untuk ke depannya diperlukan konsistensi pemerintah dalam menegakkan peraturan yang telah dibuatnya agar kesalahan masa lalu yang menjadi penyebab krisis tidak terulang lagi. Pada masa orde baru, dalam kebijakan ekonominya, pemerintah mempunyai preferensi dan kedekatan dengan kalangan bisnis tertentu yang menyebabkan perekonomian terdistorsi dan tidak terjadi kompetisi di pasar secara fair. Hal ini bukan berarti tidak perlu ada kedekatan antara pemerintah dan kalangan bisnis. Justru kedekatan dan kekompakkan antara pemerintah dan kalangan bisnis sangat diperlukan untuk menggerakkan perekonomian seperti di Jepang, dimana hubungan Keidanren dengan pemerintah sangat erat. Yang perlu ditekankan adalah bagaimana hubungan antara pemerintah dan kalangan bisnis diatur sedemikian rupa, misal dengan sejumlah peraturan dan bagaimana pemerintah konsisten dengan peraturan tersebut supaya terjadi fairness dalam kompetisi dan tidak ada pola hubungan patron-client lagi.
Sedangkan bila dilihat dari segi penegakan hukum dalam 6 tahun terakhir, beberapa produk hokum yang telah dihasilkan untuk pemberantasan KKN, antara lain UU anti KKN (1999), TAP MPR khusus tentang pemberantsan KKN, serta beberapa badan khusus untuk menangani permasalahan KKN, seperti Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi (TGPK) di Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), dan lainnya. Undang-undang tentang badan khusus tersebut dapat menjadi dasar yang baik. IMF juga turut memegang peranan dalam pembuatan produk hokum tersebut karena sebagian besar peraturan baru tersebut tercantum dalam Lol Indonesia – IMF.
BAB III
KESIMPULAN
Krisis ekonomi di Indonesia yang diawali dengan krisis moneter, ditandai dengan depresiasi nilai rupiah secara tajam, lalu krisis perbankan, yang kemudian berkembang menjadi krisispolitik dan moral, sebenarnya berakar pada penanganan pembangunan ekonomi yang terdistorsi selama beberapa decade. Pada masa awal pemerintahan Suharto, Indonesia berhasil menekan laju inflasi, dan kemudian menetapkan trilogy pembangunan, bahwa pembangunan berlandaskan pada stabilitas, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan. Pada kenyataanya, Presiden Suharto berhasil dengan tingkat inflasi yang rendah, stabilitas keamanan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pada masa awal orde baru juga dimulai menjalin kerja sama denganlembaga donor keuangan seperti IMF dan IGGI serta penanaman modal asing, melalui UU No.1 tahun 1967. Tetapi secara umum melalui UU No.7 tahun 1968 mengenai UU Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), masih terlihat sifat proteksionis. Pemerintah kemudian juga mulai menggunakan utang luar negeri sebagai instrument untuk pembiayaan pembangunan.
Dalam masa 6 tahun kerja sama dengan IMF, pemerintah Indonesia telah banyak membuat legislasi-legislasi baru seperti yang telah dijelaskan di bab II (isi). Penyebab utama krisis adalah tidak berjalannya mekanisme pasar dengan baikyang banyak diakibatkan oleh liberalisasi keuangan atau perbankan yang tidak diikuti mekanisme pengawasan yang baik, hubungan pemerintahan yang preferensialterhadap kalangan bisnis dan KKN. Dan yang menjadi tugas pemerintah saat ini dan ke depan adalah bagaimana penegakkan peraturan-peraturan tersebut. Penegakkan peraturan inilah yang pada akhirnya mencakup segala aspek kehidupan ekonomi untuk menjamin berjalannya mekanisme pasar secara baik.
DAFTAR PUSTAKA
Syamsul Hadi, dkk 2004.Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF.Jakarta: Granit.
http://mkp.fisip.unair.ac.id/index.php?ooption=com_content&view=article&id=97:lingkaran-krisis-ekonomi-indonesia&catid=34.mkp&Itemid=62
http://putracenter.net/2009/02/10/4-penyebab-krisis-ekonomi-indonesia-tahun-1997-1998-apakah-akan-terulang-pada-krisis-ekonomi-sekarang/
http://www.prioritasnews.com/images/upload/2012/02/laput3.jpg
http://www.phillyimc.org/files/imf-protes.jpg
Disusun oleh Kelompok 11:
Geni Enka L. (23211029)
Luthfi Yuliana (24211180)
Shinta Amelia D. (29211160)
Wiris Eria R. (28211069)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar