Korupsi dan Pemborosan Sumber Daya
Jurnal
Ujian Akhir Teori Ekonomi 1
Disusun oleh:
1.
Gena Enka Lestari (23211028)
2.
Geni Enka Lestari (23211029)
3.
Luthfi Yuliana (24211180)
SMAK05-3
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
ABSTRAK
Akhir-akhir
ini masalah korupsi sedang hangat-hangatnya dibicarakan publik, terutama dalam
media massa baik lokal maupun nasional. Banyak para ahli mengemukakan
pendapatnya tentang masalah korupsi ini. Pada dasarnya, ada yang pro adapula
yang kontra. Akan tetapi walau bagaimanapun korupsi ini merugikan negara dan
dapat meusak sendi-sendi kebersamaan bangsa. Pada hakekatnya, korupsi adalah
“benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat
utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Dalam
prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas,
oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak. Disamping
itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses
perbuatan korupsi merupakan bahaya latent yang harus diwaspadai baik oleh
pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Korupsi adalah produk dari sikap
hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan
sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan
para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit
yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status
sosial yang tinggi dimata masyarakat. Korupsi sudah berlangsung lama, sejak
zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma sampai abad pertengahan dan sampai sekarang.
Korupsi terjadi diberbagai negara, tak terkecuali di negara-negara maju
sekalipun. Di negara Amerika Serikat sendiri yang sudah begitu maju masih ada
praktek-praktek korupsi. Sebaliknya, pada masyarakat yang primitif dimana
ikatan-ikatan sosial masih sangat kuat dan kontrol sosial yang efektif, korupsi
relatif jarang terjadi. Tetapi dengan semakin berkembangnya sektor ekonomi dan
politik serta semakin majunya usaha-usaha pembangunan dengan
pembukaan-pembukaan sumber alam yang baru, maka semakin kuat dorongan individu
terutama di kalangan pegawai negari untuk melakukan praktek korupsi dan
usaha-usaha penggelapan. Korupsi dimulai dengan semakin mendesaknya usaha-usaha
pembangunan yang diinginkan, sedangkan proses birokrasi relaif lambat, sehingga
setiap orang atau badan menginginkan jalan pintas yang cepat dengan memberikan
imbalanimbalan dengan cara memberikan uang pelicin (uang sogok). Praktek ini
akan berlangsung terus menerus sepanjang tidak adanya kontrol dari pemerintah
dan masyarakat, sehingga timbul golongan pegawai yang termasuk OKB-OKB (orang
kaya baru) yang memperkaya diri sendiri (ambisi material). Agar tercapai tujuan
pembangunan nasional, maka mau tidak mau korupsi harus diberantasi. Ada
beberapa cara penanggulangan korupsi, dimulai yang sifatnya preventif maupun
yang represif.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Belakangan ini masalah korupsi adalah masalah yang belum dapat diatasi dan
ditemukan solusinya oleh negara. Sikap korupsi yang dilakukan oleh beberapa
aparat negara baik itu wakil rakyat, hukum dan peradilan, pajak, dan bahkan
pihak keamanan negara tidak terlepas dari kasus tersebut yang akhirnya akan
mengacaukan sistem pemerintahan dan menghambat pembangunan negara. Korupsi
adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang
sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya,
kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang
bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka
ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat.
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan
kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan
salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap
sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan
formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya
diri sendiri. Sebab-sebab terjadinya korupsi adalah kemiskinan dan
ketidaksetaraan, sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang
tidak halal, tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang
pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah, gaji yang rendah, kurang
sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi yang lamban dan
sebagainya. Menurut
Mc Mullan (1961) akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat
tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong
perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik,
pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.
1.2
Permasalahan
Seperti kita tahu, Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan
sumber dayanya. Namun pada kenyataannya, ekonomi Indonesia masih jauh
tertinggal dari negara-negara lainnya. Padahal cukup banyak orang-orang pintar
(berpendidikan tinggi) yang menduduki jabatan penting di struktur pemerintahan.
Sayangnya ilmu yang mereka dapat dari hasil studynya
bertahun-tahun belum bahkan cenderung tidak digunakan secara optimal.
Seharusnya, ilmu itu mereka gunakan untuk membantu pemerintah dalam pembangunan
negara yang lebih baik lagi, sehingga kehidupan masyarakat Indonesia lebih
makmur dan sejahtera.
Mereka malah lebih mementingkan dirinya sendiri salah satunya dengan
mengambil uang negara, yang biasa kita sebut dengan istilah korupsi. Dengan
mudahnya mereka melakukan korupsi tidak peduli apakah itu uang haram atau halal
yang terpenting bagi mereka adalah menambah kekayaan sebanyak-banyaknya.
Padahal disana ada hak-hak milik orang banyak.
Salah satunya contoh kasus suap di kantor pajak. Bayangkan semua orang
banting tulang bekerja yang nantinya penghasilan mereka akan disisihkan
sebagian untuk digunakan membayar pajak ke pemerintah. Sebenarnya tujuan kita
membayar pajak yaitu untuk menyejahterakan kehidupan masyarakat (peningkatan pelayanan
masyarakat). Jadi bisa dikatakan mebayar pajak itu seperti dari kita dan untuk
kita lagi.
Namun, hal itu hanya sebagian kecil yang dapat terwujud. Kenyataannya masih
banyak masyarakat Indonesia yang kurang mampu. Uang yang seharusnya disalurkan
kepada masyarakat, malah masuk ke kantong para koruptor. Dapat dikatakan bahwa korupsi lebih membawa ke arah inefisiensi. Korupsi juga menyebabkan pemborosan sumber-sumber,
modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, ketidakstabilan, rakyat
tidak mempercayai pemerintah, ketidakstabilan politik, dan kerugian yang
lainnya. Secara umum akibat korupsi adalah
merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat
tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang
Dasar 1945.
BAB 2
ISI
2.1 Analisis
Perbuatan
Korupsi tidak bisa dibiarkan berjalan begitu saja dan seakan menjadi sebuah fenomena di negeri ini bila suatu negara
ingin mencapai tujuannya. Karena kalau dibiarkan secara terus menerus maka akan
terbiasa dan menjadi subur. Seakan-akan perbuatan korupsi itu sah-sah saja dan
akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang
mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi
perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab.
Disini
ada beberapa upaya atau jalan untuk Penanggulangan Korupsi yang ditawarkan para
ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan. Caiden
(dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah dalam menanggulangi korupsi
adalah sebagai berikut:
1.
Membenarkan
transaksi yang dulunya dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran tertentu.
2.
Membuat
struktur yang baru yang mendasarkan bagaimana keputusan itu dibuat.
3.
Melakukan
perubahan atau perombakan organisasi yang dapat mempermudah masalah pengawasan
atau monitoring dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi (perputaran)
penugasan, wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang
saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang
secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
4.
Bagaimana
dorongan untuk korupsi dapat dikurangi ? dengan jalan meningkatkan ancaman
dengan sanksi yang berat.
5.
Korupsi
adalah masalah nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi,
tetapi memang harus ditekan sekecil mungkin, agar beban korupsi organisasional
maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan
struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk
korupsi dengan adanya perubahan organisasi.
Cara
yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized) tindakan yang
semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan adanya
pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka jalan untuk kesempatan
korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan struktur atau susunan
organisasi haruslah membantu kearah pencegahan korupsi, misalnya tanggung jawab
pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat, dengan tidak lupa meningkatkan
ancaman hukuman kepada pelaku pelakunya dengan sanksi yang berat sehingga
timbul efek jera bagi pelaku.
Selanjutnya,
Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi saran penanggulangan Korupsi yaitu
agar pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan administratif yang
menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas,
pengadaan pengawasan yang lebih keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan
kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh mungkin, gaji pegawai yang rendah harus
ditingkatkan dan kedudukan sosial ekonominya diperbaiki, lebih terjamin,
satuan-satuan pengamanan termasuk polisi harus diperkuat, hukum pidana dan
hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang
yang menyogok pejabat-pejabat harus ditindak pula jangan sampai ada istilah
dinegeri ini Humum seperti mata pisau, tajam kebawah tumpul keatas, artinya
bila yang berbuat rakyat kecil maka seakan-akan hukum berdirik dengan
tegak dan sebaliknya yang berbuat pejabat tinggi hukum seakan tidak berdaya.
Persoalan
korupsi beraneka ragam cara melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya pun
bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi deduktif saja,
melainkan perlu ditinaju dari segi induktifnya yaitu mulai melihat masalah
praktisnya (practical problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan
timbulnya perbuatan korupsi.
Kartono
(1983) menyarankan penanggulangan perbuatan korupsi adalah sebagai berikut:
1.
Adanya
kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi
politik dan kontrol sosial, dengan tidak bersifat acuh tak acuh.
2.
Menanamkan
aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional diatas
kepentingan pribadi atau golongan.
3.
Para
pemimpin dan pejabat memberikan teladan mulai dari
diri sendiri , memberantas dan menindak korupsi.
4.
Adanya
sanksi yang tegas dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum
tindakan korupsi.
5.
Reorganisasi
dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah
departemen, beserta jawatan dibawahnya.
6.
Adanya
sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan
bukan berdasarkan sistem “ascription”.
bukan berdasarkan sistem “ascription”.
7.
Adanya
kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran
administrasi pemerintah tidak seperti sekarang yang pegawai negeri seringkali ikut menjadi Tim sukses bagi pasangan tertentu sehingga suatu saat jika pasangan yang diusungnya terpilih makai pegawai negeri tersebut mendapat tempat yang diinginkannya, kasus semacam ini tidak boleh dinegeri ini karena pegawai negeri sebagai aparatur pemerintah harus netral.
administrasi pemerintah tidak seperti sekarang yang pegawai negeri seringkali ikut menjadi Tim sukses bagi pasangan tertentu sehingga suatu saat jika pasangan yang diusungnya terpilih makai pegawai negeri tersebut mendapat tempat yang diinginkannya, kasus semacam ini tidak boleh dinegeri ini karena pegawai negeri sebagai aparatur pemerintah harus netral.
8.
Menciptakan
aparatur pemerintah yang jujur dan berwibawa
9.
Sistem
budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi,
dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10. Herregistrasi (pencatatan ulang)
terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.
Marmosudjono
(Kompas, 1989) mengatakan bahwa dalam menanggulangi
korupsi, perlu sanksi malu bagi para Koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para koruptor di televisi seperti yang pernah disiarkan oleh Statsiun Tv bebrapa bulan yang lalu karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap sebagai hal yang memalukan lagi malah banyak penjara yang seperti Hotel dengan fasilitas yang serba lengkap.
korupsi, perlu sanksi malu bagi para Koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para koruptor di televisi seperti yang pernah disiarkan oleh Statsiun Tv bebrapa bulan yang lalu karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap sebagai hal yang memalukan lagi malah banyak penjara yang seperti Hotel dengan fasilitas yang serba lengkap.
Berdasarkan
pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya penanggulangan
perbuatan korupsi adalah sebagai berikut:
1.
Preventif
§
Membangun
dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi
pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara
milik pribadi atau golongan dan milik perusahaan atau milik negara.
pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara
milik pribadi atau golongan dan milik perusahaan atau milik negara.
§
Mengusahakan
perbaikan penghasilan (pendapatan/gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri
sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai
saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan
dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
§
Menumbuh
kembangakan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan
dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya raya
dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada
masyarakat dan bangsa.
§
Bahwa
teladan atau contoh dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam
memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
§
Menumbuh
kembangkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol,
koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung
disalahgunakan apabila mental para pejabat tidak kuat dan apabila didukung oleh
kesempatan melakukan tindakan korupsi.
§
Hal
yang tidak kalah pentingnya yaitu bagaimana menumbuh kembangankan “sense of
belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa
perusahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu
berusaha berbuat yang terbaik.
2.
Represif
§
Perlu
penayangan wajah koruptor di televisi.
§
Herregistrasi
(pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.
BAB 3
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok
masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan
mutlak. Korupsi
ini merugikan negara dan dapat meusak sendi-sendi kebersamaan bangsa. Pada
hakekatnya, korupsi merupakan “benalu sosial” yang merusak struktur
pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan
pembangunan pada umumnya.
Cara penanggulangan korupsi adalah
bersifat Preventif dan Represif. Pencegahan (preventif) yang perlu dilakukan
adalah dengan menumbuhkan dan membangun etos kerja pejabat maupun pegawai
tentang pemisahan yang jelas antara milik negara atau perusahaan dengan milik
pribadi, mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji), menumbuhkan
kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan,
teladan dan pelaku pimpinan atau atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan
pandangan, penilaian dan kebijakan, terbuka untuk kontrol, adanya kontrol
sosial dan sanksi sosial, menumbuhkan rasa “sense of belongingness” diantara
para pejabat dan pegawai. Sedangkan tindakan yang bersifat Represif adalah
menegakan hukum yang berlaku pada koruptor dan penayangan wajah koruptor di
layar televisi dan herregistrasi (pencatatan ulang) kekayaan pejabat dan
pegawai.
Sumber:
research.amikom.ac.id/index.php/SSI/article/download/5262/3377